Romantic

Romantic
Cinta dan Harapan

Jumat, 15 Juli 2011

artikel mental

Berartikah Pendidikan Mental
Oleh : Deramsyar

Perkembangan pemikiran tentang pendidikan sejak dahulu sampai sekarang semakin maju. Hal itu disebabkan oleh kesadaran keseriusan yang tinggi di kalangan ilmuwan untuk memecahkan masalah pendidikan secara dinamis. Dewasa ini perkembangan masyarakat telah menunjukan sikap yang kritis dan memiliki pandangan serta wawasan yang luas. Mereka telah mengerti berbagai hal termasuk arti dari kualitas suatu kegiatan; karenanya tuntutan mereka tidak kecil terutama terhadap hasil pendidikan dan pembelajaran di sekolah.

Pendidikan formal dinegeri ini tampaknya hanya mengejar nilai-nilai lahiriyah semata, seperti prestasi akademik, keunggulan akademik, raport, ijazah, dan ikut wisuda. Sedangkan, nilai yang terkait dengan “sikap mental” kurang jadi perhatian bahkan terkadang terpikir dalam benak berartikah dan terwujudkan pendidikan mental dan akhlak???.

Sehingga banyak yang lulus menjadi Pejabat, dosen, guru, dan yang lainnya bahkan bangga menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dengan penghasilan yang masyarakat beranggapan gaji mereka besar dan bisa mencukupi segala kebutuhan mereka. Asumsi lain mengatakan banyak mahasiswa yang lulus cumlaude, namun punya mental bobrok. Lulus dengan predikat summa cumlaude, tapi mentalnya masih mental korup. Tidak sedikit para petinggi, pejabat, pemimpin, wakil rakyat, atau pemegang kebijakan penting masih punya jiwa dan mental yang tidak sepadan dengan gelar pendidikannya, sebagai contoh kepala sekolah SMA dimana penulis bekerja dan dosen penulis yang notabene memiliki pendidikan agama lebih tinggi tapi apa yang terjadi kebobrokan terselimuti kabut tebal dan berhias pelangi yang penuh dengan warna. Aneh bukan ??? maka dimanakah pendidikan mental dan akhlak itu berada?

Djatnika (1996:17) dalam bukunya Etika Islami mengatakan bahwa dalam hidupnya manusia selalu mencari kebahagiaan (happines) dan seterusnya. Secara instink mencari kebahagiaan yang tinggi ”universal happines” merupakan kebutuhan manusia, tidak ada seorangpun manusia selagi masih sehat akalnya yang ingin celaka, melarat atau gagal dalam hidupnya. Setiap manusia dipastikan mempunyai tujuan yang ingin dicapainya. Namum mestikah demi kebahagian dan menggapai mimpi harus menghalalkan segala cara bahkan mengabaikan kewajiban, seperti kisah yang terjadi dibangku perkuliahan sekolah Tinggi apapun namanya banyak mahasiswa yang beranggapan pendidikan tidak berlaku tapi hanya secarik kertas yang menunjukan bahwa lulus menjadi sarjana itu yang dibutuhkan. Salahkah penulis menilai sehelai kertas lebih dikejar bahkan diperaruhkan dari pada pendidikan. Pendidikan mental yang dirancang dan akhlak yang ditanamkan dari dini akhirnya tumbang diterpa badai impian mengejar kabahagian duniawi.

Kehidupan modern dewasa ini telah tampil dalam dua wajah yang antagonistik. Di satu sisi modernisme telah berhasil mewujudkan kemajuan yang spektakuler, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sisi lain, ia telah menampilkan wajah kemanusiaan yang buram berupa kemanusiaan modern sebagai kesengsaraan rohaniah. Modernitas telah menyeret manusia pada kegersangan spiritual. Ekses ini merupakan konsekuensi logis dari paradigma modernisme yang terlalu bersifat materialistik dan mekanistik, dan unsur nilai-nilai normatif yang telah terabaikan. Hingga melahirkan problem-problem kejiwaan yang variatif.

Ironisnya, masalah kejiwaan yang dihadapi individu sering mendapat reaksi negatif dari orang-orang yang berada di sekitarnya. Secara singkat lahirnya stigma ditimbulkan oleh keterbatasan pemahaman masyarakat mengenai etiologi gangguan jiwa, di samping karena nilai-nilai tradisi dan budaya yang masih kuat berakar, sehingga gangguan jiwa sering kali dikaitkan oleh kepercayaan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya, masih ada sebagian masyarakat yang tidak mau terbuka dengan penjelasan-penjelasan yang lebih ilmiah (rasional dan obyektif) dan memilih untuk mengenyampingkan perawatan medis dan psikiatris terhadap gangguan jiwa.

Di dalam Al-Qur’an sebagai dasar dan sumber ajaran islam banyak ditemui ayat-ayat yang berhubungan dengan ketenangan dan kebahagiaan jiwa sebagai hal yang prinsipil dalam kesehatan mental. Ayat-ayat tersebut adalah:

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara merek seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (keadaan nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S. 3: 164)

Dalam hadits Rasulullah dijelaskan juga yaitu:
“ Sesungguhnya aku diutus oleh Allah adalah bertugas untuk menyempurnakan kemulian Akhlak manusia”.
Dengan kejelasan ayat Al-Qur’an dan hadits diatas dapat ditegaskan bahwa kesehatan mental (shihiyat al nafs) dalam arti yang luas adalah tujuan dari risalah Nabi Muhammad SAW diangkat jadi rasul Allah SWT, karena asas, cirri, karakteristik dan sifat dari orang yang bermental itu terkandung dalam misi dan tujuan risalahnya. Dan juga dalam hal ini al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk, obat, rahmat dan mu’jizat (pengajaran) bagi kehidupan jiwa manusia dalam menuju kebahagian dan peningkatan kualitasnya sebagai mana yang ditegaskan dalam ayat berikut:
Artinya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran: 104)
Perbuatan seseorang merupakan perwujudan akhlak yang dimilikinya. Oleh karena itu, akhlak dalam Islam menjadi hal yang sangat penting. Seorang pendidik teladan harus mematuhi etika – etika kependidikan. Berdasarkan UUD 1945, pemerintah RI menetapkan kode etik guru. Namun semua itu hhanya sekadar kode samata, nahkan pemaru undang-undangnya tak mengerti tentang bagaimana penerapan atau prakteknya.

Oleh sebab itu, sudah saatnya pendidikan mental akhlak perlu di terapkan dimanapun dan kapanpun diawalai dari pribadi masing-masing dan pemengbangan di masyarakat yang menunjukan keteladanan hirarki. Karena kita hidup tak hanya sekadar mengejar kabahagian akan tetapi ketenangan jiwa.
Orang yang hidup senang belum tentu memiliki ketenangan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar